Rabu, 10 Oktober 2012

Audit Forensik


Pengertian Audit Forensik
          Audit Forensik terdiri dari dua kata, yaitu audit dan forensik. Audit adalah tindakan untuk membandingkan kesesuaian antara kondisi dan kriteria. Sementara forensik adalah segala hal yang bisa diperdebatkan di muka hukum / pengadilan.
          Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), forensic accounting / auditing merujuk kepada fraud examination. Dengan kata lain keduanya merupakan hal yang sama, yaitu:
“Forensic accounting is the application of accounting, auditing, and investigative skills to provide quantitative  financial information about matters before the courts.”
          Menurut D. Larry Crumbley, editor-in-chief dari Journal of Forensic Accounting (JFA) “Akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat (cocok) untuk tujuan hukum. Artinya, akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan judicial atau administratif”.
          Dengan demikian, Audit Forensik bisa didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan membandingkan antara kondisi di lapangan dengan criteria, untuk menghasilkan informasi atau bukti kuantitatif yang bisa digunakan di muka pengadilan.
          Karena sifat dasar dari audit forensik yang berfungsi untuk memberikan bukti di muka pengadilan, maka fungsi utama dari audit forensik adalah untuk melakukan audit investigasi terhadap tindak kriminal dan untuk memberikan keterangan saksi ahli (litigation support) di pengadilan.
          Audit Forensik dapat bersifat proaktif maupun reaktif. Proaktif artinya audit forensik digunakan untuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinan risiko terjadinya fraud atau kecurangan. Sementara itu, reaktif artinya audit akan dilakukan ketika ada indikasi (bukti) awal terjadinya fraud. Audit tersebut akan menghasilkan “red flag” atau sinyal atas ketidakberesan. Dalam hal ini, audit forensik yang lebih mendalam dan investigatif akan dilakukan.
2.2 Perbandingan antara Audit Forensik dengan Audit Tradisional (Keuangan)

Audit Tradisional
Audit Forensik
Waktu
Berulang
Tidak berulang
Lingkup
Laporan Keuangan secara umum
Spesifik
Hasil
Opini
Membuktikan fraud (kecurangan)
Hubungan
Non-Adversarial
Adversarial (Perseteruan hukum)
Metodologi
Teknik Audit
Eksaminasi
Standar
Standar Audit
Standar Audit dan Hukum Positif
Praduga
Professional Scepticism
Bukti awal
          Perbedaan yang paling teknis antara Audit Forensik dan Audit Tradisional adalah pada masalah metodologi. Dalam Audit Tradisional, mungkin dikenal ada beberapa teknik audit yang digunakan. Teknik-teknik tersebut antara lain adalah prosedur analitis, analisa dokumen, observasi fisik, konfirmasi, review, dan sebagainya. Namun, dalam Audit Forensik, teknik yang digunakan sangatlah kompleks.
          Teknik-teknik yang digunakan dalam audit forensik sudah menjurus secara spesifik untuk menemukan adanya fraud. Teknik-teknik tersebut banyak yang bersifat mendeteksi fraud secara lebih mendalam dan bahkan hingga ke level mencari tahu siapa pelaku fraud. Oleh karena itu jangan heran bila teknik audit forensik mirip teknik yang digunakan detektif untuk menemukan pelaku tindak kriminal. Teknik-teknik yang digunakan antara lain adalah metode kekayaan bersih, penelusuran jejak uang / aset, deteksi pencucian uang, analisa tanda tangan, analisa kamera tersembunyi (surveillance), wawancara mendalam, digital forensic, dan sebagainya.

2.3 Tujuan Audit Forensik
          Tujuan dari audit forensik adalah mendeteksi atau mencegah berbagai jenis kecurangan (fraud). Penggunaan auditor untuk melaksanakan audit forensik telah tumbuh pesat.
          Untuk mendukung proses identifikasi alat bukti dalam waktu yang relatif cepat, agar dapat diperhitungkan perkiraan potensi dampak yang ditimbulkan akibat perilaku jahat yang dilakukan oleh kriminal terhadap korbannya, sekaligus mengungkapkan alasan dan motivitasi tindakan tersebut sambil mencari pihak-pihak terkait yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan perbuatan tidak menyenangkan dimaksud.

2.4 Praktik Ilmu Audit Forensik

*           Penilaian risiko fraud
Penilaian risiko terjadinya fraud atau kecurangan adalah penggunaan ilmu audit forensic yang paling luas. Dalam praktiknya, hal ini juga digunakan dalam perusahaan-perusahaan swasta untuk menyusun sistem pengendalian intern yang memadai. Dengan dinilainya risiko terjadinya fraud, maka perusahaan untuk selanjutnya bisa menyusun sistem yang bisa menutup celah-celah yang memungkinkan terjadinya fraud tersebut.

*           Deteksi dan investigasi fraud
Dalam hal ini, audit forensik digunakan untuk mendeteksi dan membuktikan adanya fraud dan mendeteksi pelakunya. Dengan demikian, pelaku bisa ditindak secara hukum yang berlaku. Jenis-jenis fraud yang biasanya ditangani adalah korupsi, pencucian uang, penghindaran pajak, illegal logging, dan sebagainya.

*           Deteksi kerugian keuangan
Audit forensik juga bisa digunakan untuk mendeteksi dan menghitung kerugian keuangan negara yang disebabkan tindakan fraud.

*           Kesaksian ahli (Litigation Support)
Seorang auditor forensik bisa menjadi saksi ahli di pengadilan. Auditor Forensik yang berperan sebagai saksi ahli bertugas memaparkan temuan-temuannya terkait kasus yang dihadapi. Tentunya hal ini dilakukan setelah auditor menganalisa kasus  dan data-data pendukung untuk bisa memberikan penjelasan di muka pengadilan.

*           Uji Tuntas (Due diligence)
Uji tuntas atau Due diligence adalah istilah yang digunakan untuk penyelidikan guna penilaian kinerja perusahaan atau seseorang , ataupun kinerja dari suatu kegiatan guna memenuhi standar baku yang ditetapkan. Uji tuntas ini biasanya digunakan untuk menilai kepatuhan terhadap hukum atau peraturan.
Praktik Audit Forensik
Dalam praktik di Indonesia, audit forensik hanya dilakukan oleh auditor BPK, BPKP, dan KPK (yang merupakan lembaga pemerintah) yang memiliki sertifikat CFE (Certified Fraud Examiners). Sebab, hingga saat ini belum ada sertifikat legal untuk audit forensik dalam lingkungan publik. Oleh karena itu, ilmu audit forensik dalam penerapannya di Indonesia hanya digunakan untuk deteksi dan investigasi fraud, deteksi kerugian keuangan, serta untuk menjadi saksi ahli di pengadilan. Sementara itu, penggunaan ilmu audit forensik dalam mendeteksi risiko fraud dan uji tuntas dalam perusahaan swasta, belum dipraktikan di Indonesia.
Penggunaan audit forensik oleh BPK maupun KPK ini ternyata terbukti memberi hasil yang luar biasa positif. Terbukti banyaknya kasus korupsi yang terungkap oleh BPK maupun KPK. Tentunya kita masih ingat kasus BLBI yang diungkap BPK. BPK mampu mengungkap penyimpangan BLBI sebesar Rp84,8 Trilyun atau 59% dari total BLBI sebesar Rp144,5 Trilyun. Temuan tersebut berimbas pada diadilinya beberapa mantan petinggi bank swasta nasional. Selain itu juga ada audit investigatif dan forensik terhadap Bail out Bank Century yang dilakukan BPK meskipun memberikan hasil yang kurang maksimal karena faktor politis yang sedemikian kental dalam kasus tersebut.

2.5 Gambaran Proses Audit Forensik
v  Identifikasi masalah
          Dalam tahap ini, auditor melakukan pemahaman awal terhadap kasus yang hendak diungkap. Pemahaman awal ini berguna untuk mempertajam analisa dan spesifikasi ruang lingkup sehingga audit bisa dilakukan secara tepat sasaran.

v  Pembicaraan dengan klien
          Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pembahasan bersama klien terkait lingkup, kriteria, metodologi audit, limitasi, jangka waktu, dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk membangun kesepahaman antara auditor dan klien terhadap penugasan audit.

v  Pemeriksaan pendahuluan
          Dalam tahap ini, auditor melakukan pengumpulan data awal dan menganalisanya. Hasil pemeriksaan pendahulusan bisa dituangkan menggunakan matriks 5W + 2H (who, what, where, when, why, how, and how much). Investigasi dilakukan apabila sudah terpenuhi minimal 4W + 1H (who, what, where, when, and how much). Intinya, dalam proses ini auditor akan menentukan apakah investigasi lebih lanjut diperlukan atau tidak.

v  Pengembangan rencana pemeriksaan
          Dalam tahap ini, auditor akan menyusun dokumentasi kasus yang dihadapi, tujuan audit, prosedur pelaksanaan audit, serta tugas setiap individu dalam tim. Setelah diadministrasikan, maka akan dihasilkan konsep temuan. Konsep temuan ini kemudian akan dikomunikasikan bersama tim audit serta klien.

v  Pemeriksaan lanjutan
          Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pengumpulan bukti serta melakukan analisa atasnya. Dalam tahap ini lah audit sebenarnya dijalankan. Auditor akan menjalankan teknik-teknik auditnya guna mengidentifikasi secara meyakinkan adanya fraud dan pelaku fraud tersebut.
v  Penyusunan Laporan
          Pada tahap akhir ini, auditor melakukan penyusunan laporan hasil audit forensik. Dalam laporan ini setidaknya ada 3 poin yang harus diungkapkan. Poin-poin tersebut antara lain adalah:
1.     Kondisi, yaitu kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan.
2.    Kriteria, yaitu standar yang menjadi patokan dalam pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu, jika kondisi tidak sesuai dengan kriteria maka hal tersebut disebut sebagai temuan.
3.    Simpulan, yaitu berisi kesimpulan atas audit yang telah dilakukan. Biasanya mencakup sebab fraud, kondisi fraud, serta penjelasan detail mengenai fraud tersebut.

2.6 Kualitas akuntan forensik
Robert J. Lindquist membagikan kuestioner kepada staf Peat Marwick Lindquist Holmes,
tentang kualitas apa saja yang harus dimiliki seorang akuntan forensic,ialah :
1.     Kreatif
          Kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang lain menganggap situasi bisnis yang normal dan mempertimbangkan interpretasi lain, yakni bahwa itu bukan merupakan situasi bisnis yang normal
2.    Rasa ingin tahu
          Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rangkaian peristiwa dan situasi
3.    Tak menyerah
           Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak mendukung, dan ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh
4.    Akal sehat
          Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata. Ada yang menyebutnya, perspektif anak jalanan yang mengerti betul kerasnya kehidupan
5.    Business sense
           Kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan, dan bukan sekedar memahami bagaimana transaksi di catat.
6.    Percaya diri
          Kemampuan untuk mempercayai diri dan temuan, sehingga dapat bertahan di bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan pembela)
          Pada prakteknya, orang yang bekerja di lembaga keuangan, perlu memahami tentang akuntansi forensik ini, untuk memahami apa yang ada di balik laporan keuangan debitur, apa yang dibalik laporan hasil analisis yang disajikan. Hal ini tentu saja, dimaksudkan agar segala sesuatu dapat dilakukan pendeteksian sejak dini, agar masalah tidak terlanjur melebar dan sulit diatasi. Apabila anda sebagai pimpinan unit kerja, atau pimpinan perusahaan, yang mengelola risiko, yang dapat mengakibatkan risiko finansial, mau tak mau anda harus mengenal dan memahami akuntansi forensik ini, sehingga anda bisa segera mengetahui ada yang tidak beres dalam analisa atau data-data yang disajikan.
2.7 Penerapan Audit Forensik
  1. Kecurangan bisnis atau kecurangan pegawai:
*      Transaksi tidak sah.
*      Manipulasi laporan keuangan.
*      dsb.
  1. Investigasi kasus kriminal:
*      Money-laundering.
*      Kejahatan asuransi.
3.    Perselisihan antar pemegang saham atau partnership.
4.    Kerugian bisnis atau perusahaan.
5.    Perselisihan perkawinan.

Senin, 08 Oktober 2012

Audit Partai Politik (parpol)


2.1. Partai Politik
Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (UU no 2 Tahun 2011)

Sifat dasar partai politik adalah perolehan kekuasaan atas nama rakyat yang dilakukan melalui Pemilu. Bila menang dalam Pemilu, partai politik akan memegang kekuasaan melalui jalur pengambil keputusan (eksekutif) dan jalur pembuat kebijakan (legislatif). Setiap keputusan yang dibuat oleh partai politik melalui kedua jalur tersebut selalu mengatasnamakan rakyat, dan berdampak luas terhadap kehidupan rakyat. Oleh karena itu partai polifik seharusnya memastikan bahwa setiap tindakannya dilakukan demi rakyat yang diwakilinya, bebas dari politik uang dan pengaruh kelompok kepentingan (vested interestgroup).

Namun, pada kenyataannya, sulit sekali melepaskan partai politik dari pengaruh kelompok kepentingan karena kehidupan partai politik justru tergantung pada sumbangan yang diterimanya. Sangat mudah bagi kelompok kepentingan untuk mempengaruhi partai politik melalui sumbangan yang diberikannya. Bila ini terjadi, orientasi partai politik bukan lagi kepada rakyat melainkan kepada kepentingan para donaturnya. Oleh karena An pembatasan sumbangan kepada parpol mutlak diperlukan. Selain itu, laporan keuangan yang transparan dan bertanggungjawab dapat menghindari terjadinya politik uang karena setiap pemasukan dan pengeluaran keuangan akan tercatat dan diinformasikan dengan jelas. Akibatnya, para pelaku politik tidak akan bisa mengalokasikan uang partai politik untuk tujuan-tujuan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan atau yang melawan peraturan dan perundangan yang berlaku. Kejadian di mana para pelaku politik membagi-bagikan uang untuk mempengaruhi para pemilih tidak mungkin lagi terjadi. Laporan keuangan yang transparan dan bertanggungjawab juga akan menghindari pemakaian fasilitas publik untuk kepentingan partai politik tertentu karena laporan keuangan seperti ini seharusnya memisahkan dan merinci setiap dana/fasilitas yang diperoleh.

Persoalan transparansi atas pendanaan partai politik masih menjadi tantangan hingga saat ini. Harapan publik untuk dapat mengakses dokumen laporan keuangan masih sulit dijamin. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan partai politik adalah keniscayaan karena sebagai institusi publik partai politik mempunyai peran besar dalam menjaga demokrasi dan mengelola pemerintahan. Namun komitmen partai politik untuk terbuka dan mempertanggungjawabkan dana partai sangat lemah. Secara khusus, fenomena pelaporan keuangan yang kurang baik itu sekaligus memperlihatkan bahwa partai politik tidak disiplin dalam mencatat penerimaan, pengelolaan, dan pengeluaran dana partainya. Berdasarkan hal-hal di atas, laporan keuangan yang transparan dan bertanggungjawab mutlak diperlukan. Untuk mencapainya harus diupayakan adanya standar akuntansi keuangan bagi partai politik, pedoman audit partai politik, dan pedoman, peraturan, serta prosedur pelaporan dana kampanye pada kegiatan Pemilu.

2.2. Aturan yang mengatur Audit Partai Politik

  Peraturan mengenai partai politik telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011, sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Keuangan partai politik bersumber dari iuran anggota, sumbangan, maupun bantuan keuangan dari APBN/APBD. Dalam pasal 34A ayat 1 menyebutkan bahwa partai politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Tujuan audit oleh BPK tersebut adalah untuk menilai kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan bantuan pemerintah dan efektivitas dan operasi penggunaan dana bantuan pemerintah. Audit dilaksanakan berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).
  Dalam pasal 38 UU No 2 th 2011 dijelaskan bahwa hasil pemeriksaan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan partai politik terbuka untuk diketahui masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa seharusnya masyarakat dapat mengetahui dan mengakses atas pelaporan keuangan partai. Namun kenyataannya masih sangat sulit untuk menerapkan transaparansi atas keuangan partai politik. Pasal 39 dari undang-undang ini menyatakan bahwa:
1.      Pengelolaan keuangan Partai Politik dilakukan secara transparan dan akuntabel
2.      Pengelolaan keuangan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh akuntan publik setiap 1 (satu) tahun dan diumumkan secara periodic
3.      Partai Politik wajib membuat laporan keuangan untuk keperluan audit dana yang meliputi:
·         laporan realisasi anggaran Partai Politik
·         laporan neraca; dan
·         laporan arus kas.


Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang partai politik, pasal 9 sebagai dasar hukum penyelenggaraan akuntansi bagi partai politik yang menjelaskan bahwa:

§  Partai politik diwajibkan untuk membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dan pemerintah.
§  Partai politik diwajibkan untuk menyampaikan laporan keuangan dan laporan dana kampanye pemilihan umum kepada Komisi Pemilihan Umum.
§  Partai politik diwajibkan membuat laporan keuangan secara berkala 1 (satu) tahun sekali dan memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum serta menyerahkan laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik kepada Komisi pemilihan Umum paling lambat 6 (enam) bulan setelah hari pemungutan suara.

Keputusan KPU No. 30/2004 Mengatur Audit Keuangan dan Dana Kampanye Partai dan Calon Presiden-Wapres :

Calon presiden dan calon wakil presiden bisa ditanya mengenai asal-usul dana kampanye mereka apabila ditemukan ada penyumbang anonim atau penyumbang yang tidak masuk daftar penyumbang. presiden dan wakil presiden bisa ditanya tentang identitas sebenarnya dari penyumbang itu serta alasan tidak dimasukkannya nama donatur. Hal itu merupakan salah satu butir dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 30 Tahun 2004 Tentang Panduan Audit Laporan Keuangan Partai Politik dan Audit Laporan Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum yang diterbitkan oleh KPU 21 April lalu.

Secara keseluruhan isi keputusan ini mencakup Juklak untuk audit laporan dana kampanye Parpol dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan audit laporan dand kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden. Semua ketentuan mengenai hal-hal ini diatur dalam Pasal 2, 3, dan 4 keputusan ini, yang kemudian dirinci di dalam lampirannya. Rincian di dalam lampiran itu mencakup 3 pokok bahasan besar, yaitu penerapan prosedur yang disepakati atas laporan dana kampanye Pemilu; prosedur pemeriksaan atas dana kampanye calon anggota DPD; penerapan prosedur yang disepakati atas laporan dana kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ketiga pokok bahasan itu masing-masing dirinci dengan jelas dan detail mengenai bagaimana prosedur pemeriksaan atas saldo awal, sumbangan nonkas dari partai dan para calon, dan seterusnya. Pendek kata, ketentuan mengenai mekanisme audit di keputusan ini sudah jelas dan rinci.
Audit yang dimaksud dalam keputusan KPU ini adalah audit umum untuk menyatakan pendapat (opini) akuntan atas kewajaran penyajian laporan keuangan tahunan partai politik. Sedangkan audit atas laporan dana kampanye peserta Pemilu adalah audit sesuai prosedur yang disepakati (agreed upon procedures). Sedangkan laporan keuangan parpol adalah laporan yang mencakup periode 1 Januari hingga 31 Desember. Selambat-lambatnya 3 bulan setelah akhir tahun buku yang bersangkutan, parpol menyerahkan laporan keuangan tahunan kepada kantor akuntan publik.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum no 07 tahun 2010 tentang Pedoman Audit laporan dana kampanye pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah :

·         Pasal 1 “Pedoman Audit Dana Kampanye Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, selanjutnya disebut Pedoman Audit Laporan Dana Kampanye, adalah untuk lebih memudahkan kantor akuntan publik dalam melaksanakan audit laporan dana kampanye pasangan calon serta Tim Kampanye.”
·         Pasal 2 “Audit oleh kantor akuntan publik atas laporan dana kampanye pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah audit sesuai prosedur yang disepakati (agreed upon procedures).”
·         Pasal 2 “(1) Kantor akuntan publik wajib menyelesaikan audit paling lambat 15 (lima belas) hari sejak diterimanya laporan dana kampanye dari KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.” “(2) Dalam melakukan audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kantor akuntan publik berpedoman pada :

§  Panduan audit laporan dana kampanye pasangan calon, yang ditetapkan oleh KPU bekerjasama dengan Institut Akuntan Publik Indonesia yang merupakan anggota Ikatan Akuntan Indonesia.
§  KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dapat menambah prosedur sepanjang disetujui oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dan KAP
Tidak memadainya laporan keuangan yang dimiliki oleh partai politik ini disebabkan karena kemampuan pengelolaan keuangan partai yang rendah. Selain itu, juga disebabkan tidak adanya standar akuntansi keuangan yang layak dan komprehensif untuk partai politik. Standar yang dipakai saat ini yakni PSAK No. 45 tentang Pelaporan Keuangan untuk Organisasi Nirlaba :

                         PSAK adalah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan, yang dalam hal ini adalah PSAK No 45 yaitu tentang Standar Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Dalam audit yang dikordinir oleh IAI untuk dana kampanye dan laporan keuangan partai politik, PSAK 45 inilah yang dijadikan dasar.

Mencermati karakteristik partai politik yang berbeda dengan organisasi nirlaba umumnya, maka penggunaan PSAK 45 ini kurang tepat untuk digunakan dasar sebagai standar pelaporan keuangan partai politik. Karakteristik partai politik ini yang pertama, tujuan partai politik adalah untuk meraih kekuasaan. Sehingga perlu aturan khusus menyangkut keuangan sebagai bentuk upaya pencegahan praktek korupsi politik (money politic) dan dominasi kelompok kepentingan. Kedua, adanya agenda besar lima tahunan yaitu pemilu yang akan menyedot dana yang besar dengan keterlibatan publik yang besar juga. Ketiga, adanya aturan-aturan khusus menyangkut partai politik, sehingga berkaitan dengan keuangan partai politik. Selain itu masih ada beberapa perbedaan antara partai politik dengan organisasi nirlaba antara lain sumbangan yang diterima dibatasi jumlahnya, wajib melaporkan daftar nama penyumbang, hasil kegiatan berupa kekuasaan politik, dan Akuntabilitasnya berupa bersih dari politik uang, kepatuhan hukum, janji politik kepada konstituen.

Mengenai perbedaan karakteristik ini tidak bisa dibantah lagi, yang menjadi persoalan kemudian apakah dengan perbedaan ini diperlukan sebuah standar khusus untuk partai politik. Mengenai hal ini terdapat tiga pendapat. Pertama mengatakan PSAK 45 dapat dipakai sebagai standar akuntansi keuangan partai politik, karena secara umum karakteristik antara organisasi nirlaba dengan partai politik adalah sama. Pendapat ini juga menyatakan bahwa yang dibutuhkan hanya sebatas pedoman pembuatan laporan keuangan berdasarkan aturan perundang-undangan yang ada untuk melengkapi penggunaan PSAK 45 sebagai standar.
Pendapat kedua menyatakan tidak perlu membuat standar akuntansi keuangan khusus partai politik tetapi yang diperlukan adalah modifikasi PSAK 45 sehingga memenuhi unsur transparansi dan akuntabilitas yang disyaratkan oleh undang-undang. Modifikasi ini tentunya juga harus diikuti dengan pedoman pencatatan dan pembuatan laporan keuangan. Sedangkan pendapat ketiga menyatakan perlu dibuat standar akuntansi keuangan khusus partai politik. Seperti telah dijelaskan, dasar pendapat ketiga ini adalah perbedaan karakteristik yang sangat spesifik antara organisasi nirlaba pada umumnya dengan partai politik.

Apa yang dilakukan oleh IAI saat ini adalah menggunakan PSAK 45 sebagai standar akuntansi keuangan partai politik dan menambahkannya dengan panduan audit partai politik dan dana kampanye. Panduan audit ini diharapkan mampu menjawab tuntutan masyarakat terhadap transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik, dimana partai politik adalah institusi publik yang tentunya harus mempertanggungjawabkan kegiatannya khususnya menyangkut masalah keuangan kepada publik.

Panduan audit yang dibuat oleh IAI juga merupakan bagian dari amanah UU No 31 Tahun 2002 tentang partai politik yang mensyaratkan laporan keuangan partai politik, termasuk dana kampanye harus diaudit oleh kantor akuntan publik sebelum disampaikan kepada KPU. Panduan ini diharapkan dapat melengkapi PSAK 45 sebagai sebuah standar pelaporan keuangan, agar tidak ada interpretasi yang salah atau tidak adanya interpretasi yang sama antar kantor akuntan publik dalam mengaudit laporan keuangan partai politik.

Interpretasi yang sama antar kantor akuntan publik ini penting mengingat PSAK 45 tidak sepenuhnya dapat menjelaskan karakteristik partai politik sebagai organisasi nirlaba. Dengan Interpretasi yang sama ini diharapkan baik kantor akuntan publik besar maupun kecil dapat melakukan audit sesuai dengan standar yang berlaku.

Panduan audit laporan keuangan partai politik ini juga dimaksudkan untuk membantu auditor independen dalam mengaudit laporan keuangan partai politik, termasuk anggota DPD dan calon pasangan capres. Pentingnya pedoman ini agar hasil audit nantinya dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya atau mendekati kebenaran potret keuangan. Karena bagaimanapun kredibilitas kantor akuntan publik ditentukan oleh kualitas jasa yang diberikannya. Namun sayangnya pedoman audit yang dibuat IAI belum mampu untuk menjawab tuntutan masyarakat menyangkut transparansi dan keuangan partai politik. Kasus penerimaan dana dari pemerintah oleh partai politik dan pasangan capres/cawapres melalui dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan menjadi buktinya.

2.3. Audit atas Laporan Keuangan Partai
            Beberapa jenis audit yang akan dilakukan terhadap laporan keuangan partai politik adalah sebagai berikut:
§  Audit atas Laporan Keuangan Tahunan
Audit atas laporan keuangan tahunan partai politik dilakukan oleh auditor independen yaitu Kantor Akuntan Publik (KAP). Dalam hal ini partai politik melakukan seleksi dan penetapan KAP sesuai dengan prosedur internal Partai. Dalam menentukan KAP, partai politik harus memperhatikan validitas KAP mengingat banyak terjadi praktik pemalsuan terhadap KAP. Karena itu sebelum menunjuk KAP, partai dapat melakukan konsultasi kepada asosiasi profesi akuntan publik yaitu Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) mengenai tata cara dan validitas KAP. Dalam setiap audit, KAP harus melakukan audit berdasarkan standar auditing yang ditetapkan lAPI. Dalam setiap audit KAP dengan partai politik harus dilengkapi dengan perikatan/kontrak yang mengatur tentang audit tersebut. KAP akan menyediakan proposal perikatan sekaligus dapat digunakan sebagai perikatan/kontrak.
 Dalam melaksanakan audit KAP akan menjalankan serangkaian prosedur yang diperlukan seperti melakukan wawancara, inspeksi dokumen dan catatan, pengujian fisik, dan konfirmasi kepada pihak ketiga serta surat representasi dari partai politik. Pekerjaan KAP dituangkan dalam kertas pemeriksaan dimana kertas kerja tersebut akan disimpan KAP. Produk dari audit oleh KAP adalah laporan auditor independen yang memuat pendapat auditor atas laporan keuangan yang disajikan oleh partai politik. Partai politik dapat meminta KAP untuk melakukan jenis audit lain yang relevan yang diperlukan oleh partai politik terkait dengan pelaporan keuangan.
§  Audit atas laporan pertanggungjawaban dana bantuan keuangan partai politik dari pemerintah
Audit atas laporan pertanggungjawaban bantuan keuangan pemerintah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sehubungan dengan bantuan yang diterima merupakan lingkup keuangan Negara. Tujuan audit tersebut adalah untuk menilai kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan bantuan pemerintah dan efektivitas dan operasi penggunaan dana bantuan. Audit oleh BPK dilaksanakan berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yaitu suatu standar pemeriksaan yang diterbitkan oleh BPK yang harus dijalankan dan ditaati oleh setiap pemeriksa keuangan Negara. Karena itu termasuk audit laporan ini, BPK harus menjalankan audit berdasarkan SPKN.
Dua hal utama yang selalu menjadi temuan BPK atas audit laporan pertanggungjawaban dana bantuan partai politik adalah penggunaan dana bantuan yang tidak sesuai ketentuan dan tidak adanya bukti-bukti transaksi yang lengkap dan sah
Beberapa contoh temuan BPK atas penggunaan dana bantuan partai politik yang tidak sesuai ketentuan adalah sebagai berikut:
[ Pembayaran honorarium (berdasarkan peraturan terbaru yaitu Permendagri no. 24 tahun 2009 sudah tidak ada lagi alokasi biaya untuk honorarium/gajistaf)
[ Pembebanan biaya kunjungan musibah anggota partai politik yang sakit pada biaya perjalanan dinas
[ Pembebanan biaya sewa gedung pada biaya pemeliharaan
[ Pembebanan biaya sewa hotel dalam rangka musyawarah cabang luar biasa pada biaya administrasi umum
[ Pembebanan biaya angsuran kendaraan bermotor
§  Audit atas Laporan Dana Kampanye
Laporan dana kampanye partai politik pada saat kampanye pemilu legislative dilakukan audit oleh KAP yang ditunjuk oleh KPU. Audit oleh KAP terhadap laporan dana kampanye dilakukan dengan menggunakan metode audit prosedur disepakati (audit upon procedure/AUP). Dalam hal ini, KAP tidak memberikan suatu opini atas penyajian laporan dana kampanye, melainkan KAP menjalankan prosedur yang sudah ditentukan oleh KPU kemudian melaporkan hasil pelaksanaan prosedur kepada KPU. Kesimpulan dan tindak lanjut hasil audit ini merupakan wewenang KPU. Prosedur audit didasarkan kepada Peraturan KPU terkait.

2.4. Persiapan menghadapai proses Audit
            Dalam setiap proses audit yang dilaksanakan baik oleh KAP maupun oleh BPK maka beberapa hal yang perlu disiapkan adalah:
§  Kelengkapan laporan keuangan
Laporan keuangan atau laporan lainnya harus sudah tersedia dan disiapkan sendiri oleh partai politik. KAP tidak bertugas untuk menyiapkan laporan keuangan atau jenis laporan lainnya, karena laporan keuangan adalah tanggung jawab partai politik. Tanggung jawab KAP atau BPK adalah melakukan audit berdasarkan standar auditnya masing-masing. Kelemahan utama partai politik adalah laporan keuangan belumsiap pada saat diaudit akibat dari pengendalian internal yang tidak baik.
§  Tersedianya tenaga pendamping
Perlu tenaga pendamping bagi audit oleh KAP atau BPK. Tenaga pendamping tersebut bertugas membantu proses pemeriksaan dan sebagai jembatan komunikasi antara partai dengan auditor. Tenaga pendamping dapat merupakan personel yang berbeda dari staf akuntansi.
§  Tersedianya ruangan/tempat bagi staf auditor
Karena auditor memerlukan pemeriksaan dokumen maka sebaiknya partai menyediakan suatu ruangan khusus bagi auditor sehingga dokumen tidak dibawa keluar kantor partai.
§  Tersedianya surat penugasan dari KAPatau BPK
Dalam setiap penugasan staf auditor harus di lengkapi dengan surat tugas dari kantor masing-masing KAP atau BPK untuk memasti kan bahwa personel yang ditugaskan adalah benar. Penugasan dipimpin oleh partner akuntan publik dari KAP atau pejabat tertentu dari BPK. Partner akuntan publik dari KAP merupakan personel yang memegang ijin Akuntan Publik dari Pemerintah. Memberikan penjelasan/ keterangan yang relevan dalam setiap pertanyaan yang diajukan auditor.
§  Memfasilitasi kebutuhan konfirmasi kepada pihak ketiga sesuai kebutuhan dari auditor.
§  Menyediakan dokumen-dokumen yang relevan dengan partai politik dan dokumen keuangan seperti catatan akuntansi, bukti transaksi, kontrak-kontrak, dokumen ketenagakerjaan, rekening Koran, akta pendirian partai dan pengesahan oleh pemerintah serta dokumen relevan lainnya.
§  Memastikan keamanan dan kerahasiaan dokumen pada saat proses audit yaitu dengan meminta KAP atau BPK menandatangani formulir kesepakatan kerahasiaan. Meskipun kode etik KAP dan BPK rnengatur mengenai kerahasiaan namun lebih baik jika partai membuat kesepakatan ini.


CONTOH KASUS
Masalah Akuntabilitas Keuangan Partai Politik yang
Ditemukan

Sumber : Transparency International Indonesia : 2008

Masalah terbesar dari partai-partai politik di Indonesia pada Pemilu 1999, terutama partai-partai baru, adalah masalah pembiayaan kegiatan kampanye Pemilu, termasuk biaya untuk calon anggota legislatif (caleg). Karena kesulitan ini maka banyak sekali caleg dari berbagai partai politik yang membiayai sendiri kampanyenya. Selain itu, ada beberapa partai yang mensyaratkan anggotanya yang ingin menjadi caleg untuk mengumpulkan uang dengan jumlah minimum agar dimasukkan sebagai caleg. Dana-dana ini tidak dilaporkan kepada bendahara partai sehingga tidak tercatat dalam catatan penerimaan dana.
Masalah lain yang kami temukan adalah bahwa laporan keuangan yang dilaporkan kepada KPU tidak cukup terbuka (tidak full disclosure) dan tidak cukup mewakili kegiatan partai tersebut secara nasional. Yang diaudit oleh auditor public adalah hanya DPPnya saja, sedangkan cabang dan ranting tidak diaudit. Padahal ada banyak dana yang beredar di cabang, di ranting ataupun di caleg yang tidak dikelola oleh bendahara DPP, yang berarti dana-dana tersebut tidak tercatat sebagai pemasukan oleh DPP, sehingga tidak diaudit dan tidak dilaporkan ke publik. Lubang ini dipakai oleh partai untuk mengatasi batasan jumlah dana yang dapat diberikan oleh individu dan perusahaan.
Persoalan lain adalah bahwa ada banyak sumbangan yang diberikan secara spontan oleh para pendukung partai politik baik dalam bentuk natura ataupun tunai. Sumbangan ini ada yang diberikan dalam bentuk menyediakan berbagai fasilitas, dukungan kampanye, atau pengeluaran uang tunai yang dikelola sendiri, dan sebagainya. Fasilitas yang disediakan misalnya transportasi, untuk mengangkut masa pada saat rapat akbar atau untuk calon legislatif dan presiden. Laporan sumbangan natura ini dilaporkan dengan sangat tidak memadai bahkan ada yang tidak melaporkan sama sekali.
Beberapa contoh misalnya soal transportasi calon presiden. Hampir semua kandidat presiden partai-partai besar melakukan perjalanan kampanyenya dengan memakai helikopter. Kemudian dalam kendaraan sehari-hari memakai mobil mewah, yang tiba-tiba saja muncul dan dipakai oleh si kandidat padahal publik tahu bahwa mobil itu bukanlah kepunyaan sang kandidat. Tetapi dalam laporan keuangan, publik tidak dapat melihat secara jelas pos pengeluaran untuk membayar helicopter dan mobil mewah ini, padahal biayanya pasti sangat besar. Golkar misalnya hanya melaporkan biaya perjalanan kampanye hanya sebesar Rp 461.933.120. Angka ini tentu tidak mewakili perjalanan petinggi-petinggi dan caleg-caleg serta calon presiden Golkar yang sangat ekstensif pada waktu itu.
Sumbangan natura lain yang tidak muncul di dalam laporan keuangan adalah biaya-biaya rapat raksasa. Biaya-biaya ini antara lain biaya pengerahan massa dalam bentuk pengangkutan (bus atau truk), membayar artis (penyanyi, pelawak, band, dan sebagainya), panggung, dan sebagainya. Selain itu, dana pembuatan bendera, poster, spanduk, dan iklan, hanya sedikit yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Kalau dilihat dari intensifnya dan ekstensifnya penyebaran informasi dari partai-partai besar, maka dana tersebut secara logika awam pasti jauh lebih besar dari yang dilaporkan, tetapi yang muncul dalam laporan keuangan kampanye jauh lebih sedikit.

Untuk partai yang berkuasa, dalam hal ini Golkar, sangat sulit untuk menemukan dan membedakan mana biaya yang ditanggung rakyat yang dipakai pejabat pemerintah untuk kampanye Golkar. Biaya perjalanan presiden, menteri, dan pejabat di bawahnya walaupun secara teori mereka sudah tidak boleh lagi berkampanye, namun tetap dapat melakukan pertemuan untuk kepentingan Golkar dalam perjalanan dinasnya. Selain itu, juga sangat sulit untuk mencegah dipakainya dana publik untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat karitatif. Kasus dana JPS yang disalurkan lewat partai politik yang berkuasa pada saat itu, yakni Golkar, jelas-jelas telah melanggar etika dan aturan main kampanye, tetapi sangat sulit untuk dideteksi.

Banyak penyumbang tidak melaporkan nama dan alamatnya secara jelas. Bahkan menurut para auditor, banyak sumbangan yang hanya menerakan kata-kata "Hamba Allah" dalam kolom nama dan alamat penyumbang. Hal ini bisa dijadikan peluang untuk memberikan sumbangan melewati batas maksimum yang diizinkan undang-undang dengan memberikan sumbangan lebih dari satu kali dengan nama “Hamba Allah” tersebut. Tentu petinggi partai tahu siapa yang memberikan sumbangan ini.
Ada pinjaman dari pribadi yang melebihi batas maksimum sumbangan individu, namun pinjaman ini tidak dengan akta perjanjian kapan dibayar dan untuk berapa lama. Dugaan kami ini hanya digunakan sebagai taktik untuk menghindari batas maksimum sumbangan individu.
Tidak ada partai yang melaporkan dana kampanyenya lebih dari batas maksimum dana kampanye yang ditetapkan KPU, yaitu sebesar Rp 110 milyar. Partai-partai kecil pada umumnya
hanya melaporkan penggunaan keuangan dari jumlah dana kampanye yang diterima dari pemerintah yaitu sebesar Rp 150 juta saja atau yang Rp 1 milyar saja. Mungkin mereka tidak berhasil menggalang dana dari publik, namun ada juga yang bersikeras menyatakan bahwa kewajiban mereka membuat audit hanyalah sebatas audit untuk dana yang mereka terima dari pemerintah saja.
Hampir semua auditor yang mengaudit dana kampanye Pemilu 1999 tidak dapat mengeluarkan opini mengenai pengelolaan keuangan partai politik peserta kampanye Pemilu. Hal ini disebabkan karena partai-partai tidak mempunyai catatan keuangan yang memadai dan memenuhi standar akuntansi yang dipakai umum, terutama di kantor-kantor cabang dan ranting. Pencatatan yang baik hanya ada di bendahara DPP. Ini merupakan kelemahan tetapi dapat pula dipakai sebagai taktik untuk menghindar dari batasan-batasan yang disebutkan di atas.
Partai politik tidak menyampaikan laporan keuangan yang standar, sebagaimana yang disampaikan ke MA dan KPU, karena:
·         Didalam UU Partai Politik tidak ada kewajiban partai politik menyampaikan laporan keuangan (dengan kata lain didalam UU Partai Politik tidak ada kewajiban partai politik menyampaikan laporan keuangan sesuai standar).
·         Standar akuntansi yang ada tidak cukup menjadi pedoman bagi partai politik.